Minggu, 12 Mei 2013

SYIRKAH


                                                SYIRKAH
Oleh: Indah Wati S.Pd.


A.    Pendahuluan
Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah danagn pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyraku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat.[1] Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[2] Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[3]
Menurut istilah para fuqaha’, syirkah adalah kerja sama untuk mendayagunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya , yakni saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendaya gunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertassaruf.[4] Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw. berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw. membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Berdasarkan uraian di atas dan melihat pentingnya pembelajaran tentang Syirkah, maka penyusun menyusun sebuah makalah yang berjudul “Syirkah”.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Syirkah
      Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan.[5] Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[6]
Secara Etimologi Syirkah dapat diartikan percampuran. Yakni, mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para Fuqaha’, Syirkah adalah kerja sama untuk mendaya gunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memilik hak untuk bertasarruf. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[7]
Ada beberapa definisi Syirkah yang dikemukakan oleh para ulama’ fiqh. Menurut Mazhab Maliki, “Suatu izin untuk bertindak secara hokum bagi dua orang yang berkerja sama terhadap harta mereka”. Menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali “Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati”. Menuru Mazhab Hanafi, “Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntunngan”.
2.      Dasar Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).[8]
Rasulullah SAW bersabda : Allah taala berfirman, “Aku pihak ke tiga dari dua orang yang berserikat selagi masing-masing dari keduanya tidak menghianati yang lain. Jika salah seorang dari keduanya menghianati yang lain, aku keluar dari keduanya.” (H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah : 2936).[9] Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shaad: 24).
“Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS An-Nisaa': 12).
Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).[10]
3.      Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
a.       Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.[11] Contoh A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang (‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qimah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jami’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”[12]
b.      Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).[13] Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal.[14] Contohnya: A dan B, keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[15] Tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarik).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrir beliau.[16]
c.       Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mal).[17] Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.[18] Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal/rabb al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘amil/mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudharabah.[19]
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrir Nabi Saw.) dan Ijma Sahabat.[20] Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya.[21] Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d.      Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak.[22] Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.[23]
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudharabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam. Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah maliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.[24]
e.       Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah, dan wujuh). Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya [25]
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inan), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
4.      Rukum dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
a.       Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
b.       Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
c.        Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[26]
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a.       Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
b.      Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha)[27]
Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Hanafi rukun syirkah hanya ada dua, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan orang yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun, tetapi syarat.
5.      Mengakhiri Syirkah
a.       Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
b.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
c.       Salah satu pihak meninggal dunia.
d.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.[28]

6.      Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik syirkah adalah:
a.       Menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang ber-syirkah;
b.      membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.[29]
7.      Praktek
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.
C.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham. Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah tersebut sah.

DAFTAR PUSTAKA
1.         Kamus Al-Munawwir, Tiga Serangkai, Solo, 2009.
2.         An Nabhani Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Risalah Gusti, Surabaya, 1990.
4.        Qosim M. Rizal, Pengamalan Fiqih,  Tiga Serangkai, Solo, 2009.
7.        Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Islam Kaffah, Edisi Revisi, 1996.



[1] Kamus Al-Munawwir, Tiga Serangkai, Solo, 2009, hlm. 765.
[2] An Nabhani Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Risalah Gusti, Surabaya, 1990, hlm. 146.
[3] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/syirkah-makalah.html.
[4] Qosim M. Rizal, Pengamalan Fiqih,  Tiga Serangkai, Solo, 2009, hlm 112.
[6] An Nabhani Taqiyuddin, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Fathul Bari, Loc. Cit.
[11] An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit., hlm. 148.
[12] Ibid, hlm. 151.
[13] Ibid, hlm. 150.
[14] Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Islam Kaffah, Edisi Revisi, 1996, hlm. 67.
[15] An Nabhani Taqiyuddin, Loc. Cit.
[16] Ibid, hlm. 151.
[17] Ibid, hlm. 152.
[18] Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Op. Cit., hlm. 42.
[19] An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit., hlm. 152.
[20] Ibid., hlm. 153.
[21] Ibid., hlm. 152.
[22] Ibid., hlm. 154.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 154-156.
[25] Ibid.
[26]Abu Bakr Jabr Al Jazairi,Op. Cit., hlm. 69.
[27] An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit.hlm. 49.
[29] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar