SYIRKAH
Oleh: Indah Wati S.Pd.
A. Pendahuluan
Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia
tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan
dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah danagn pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah danagn pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
madhi), yasyraku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat.[1]
Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi,
menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca
syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga
tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[2]
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau
lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.[3]
Menurut istilah para fuqaha’, syirkah adalah kerja sama untuk
mendayagunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama
oleh keduanya , yakni saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendaya
gunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk
bertassaruf.[4] Syirkah
hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw. berupa taqrir
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw.
membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan
Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga
dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu
Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Berdasarkan uraian di atas dan melihat pentingnya
pembelajaran tentang Syirkah, maka penyusun menyusun sebuah makalah yang
berjudul “Syirkah”.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Syirkah
Syirkah, menurut bahasa,
adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah
(kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang
didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini
terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan.[5] Kata
dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut
Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih
fasih (afshah).[6]
Secara Etimologi Syirkah dapat diartikan percampuran. Yakni, mencampurkan
dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu
bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para
Fuqaha’, Syirkah adalah kerja sama untuk mendaya gunakan (tassaruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memilik hak untuk bertasarruf. Adapun menurut makna
syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[7]
Ada beberapa definisi Syirkah yang dikemukakan oleh para ulama’ fiqh.
Menurut Mazhab Maliki, “Suatu izin untuk bertindak secara hokum bagi dua orang
yang berkerja sama terhadap harta mereka”. Menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali
“Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka
sepakati”. Menuru Mazhab Hanafi, “Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang
bekerja sama dalam modal dan keuntunngan”.
2. Dasar Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa
taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai
nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan
Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu
Hurairah ra.: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga
dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu
Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).[8]
Rasulullah SAW bersabda : Allah taala berfirman, “Aku pihak ke tiga dari
dua orang yang berserikat selagi masing-masing dari keduanya tidak menghianati
yang lain. Jika salah seorang dari keduanya menghianati yang lain, aku keluar
dari keduanya.” (H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah : 2936).[9]
Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah
mereka ini.” (QS Shaad: 24).
“Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu.” (QS An-Nisaa': 12).
Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi
kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang
paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).[10]
3. Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum
syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
a.
Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.[11]
Contoh A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang
(nuqud); sedangkan barang (‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qimah
al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika,
misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian
sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jami’, bahwa Ali bin
Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal,
sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).”[12]
b.
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran
(seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan
tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).[13]
Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal.[14] Contohnya:
A dan B, keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri
dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[15] Tidak
boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi
hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan;
nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha
(syarik).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah.
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku
pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai
harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan,
sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan
al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw. dan beliau membenarkannya dengan
taqrir beliau.[16]
c.
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan
pihak lain memberikan konstribusi modal (mal).[17]
Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya
qiradh.[18]
Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal/rabb al-mal) memberikan modalnya
sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘amil/mudharib)
dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B)
sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua,
pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus,
sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa
konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudharabah.[19]
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan
dalil as-Sunnah (taqrir Nabi Saw.) dan Ijma Sahabat.[20]
Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak
pengelola (mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara
pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal.
Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang
wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan
kepadanya.[21] Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d.
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam.
Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah
antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mal).
Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan
syirkah mudharabah padanya. Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara
kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi
modal dari masing-masing pihak.[22]
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah
wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara
kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.
Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan
harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang
dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.[23]
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh,
karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudharabah, sedangkan bentuk
kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri
telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam. Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan
bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan
finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka
dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang
menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi
janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh
seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan
finansial (tsiqah maliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji
dalam urusan keuangan.[24]
e.
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan,
‘abdan, mudharabah, dan wujuh). Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini,
menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika
berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya [25]
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya;
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inan),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau ditanggung
mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujuh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B
dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan
C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan,
yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan
konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti
di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai
pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa
masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud
syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
4. Rukum dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah yang pokok
ada 3 (tiga) yaitu:
a.
Akad (ijab-kabul), disebut
juga shighat;
b.
Dua pihak yang berakad
(‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf
(pengelolaan harta);
c.
Obyek akad (mahal), disebut
juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)[26]
Adapun
syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a.
Obyek akadnya berupa tasharruf,
yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli;
b.
Obyek akadnya dapat diwakilkan
(wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk
(mitra usaha)[27]
Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Hanafi rukun syirkah hanya ada dua, yaitu
ijab dan qabul. Sedangkan orang yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun,
tetapi syarat.
5. Mengakhiri Syirkah
a.
Salah satu pihak membatalkannya
meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
b.
Salah satu pihak kehilangan
kecakapan untuk mengolah harta.
c.
Salah satu pihak meninggal dunia.
d.
Modal para anggota syirkah lenyap
sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.[28]
6. Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik syirkah adalah:
a. Menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara
pihak-pihak yang ber-syirkah;
b. membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara
ekonomi.[29]
7. Praktek
A datang ke B dan menyera kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk
dijadikan modal kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola
uang tersebut memperoleh keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi
sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan
untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada
kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan
saling menguntungkan.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan,
bahwa syirkah adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih
yang melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau
berdasarkan keputusan bersama. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang
mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham.
Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah
itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah
tersebut sah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kamus
Al-Munawwir, Tiga Serangkai, Solo,
2009.
2.
An Nabhani Taqiyuddin, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif, Risalah Gusti, Surabaya, 1990.
4.
Qosim M. Rizal, Pengamalan Fiqih, Tiga Serangkai, Solo, 2009.
7.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia
Muslim, Minhajul Muslim, Islam Kaffah, Edisi Revisi, 1996.
[1] Kamus Al-Munawwir, Tiga Serangkai, Solo,
2009, hlm. 765.
[2] An
Nabhani Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Risalah Gusti,
Surabaya, 1990, hlm. 146.
[3] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/syirkah-makalah.html.
[4]
Qosim M. Rizal, Pengamalan Fiqih, Tiga Serangkai, Solo, 2009, hlm 112.
[6] An
Nabhani Taqiyuddin, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Fathul
Bari, Loc. Cit.
[11]
An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit., hlm. 148.
[12] Ibid, hlm. 151.
[13] Ibid, hlm. 150.
[14] Abu
Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia
Muslim, Minhajul Muslim, Islam Kaffah, Edisi Revisi, 1996, hlm. 67.
[15]
An Nabhani Taqiyuddin, Loc. Cit.
[16] Ibid, hlm. 151.
[17] Ibid, hlm. 152.
[18] Abu
Bakr Jabr Al Jazairi, Op. Cit., hlm. 42.
[19]
An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit., hlm.
152.
[20] Ibid., hlm. 153.
[21] Ibid., hlm. 152.
[22] Ibid., hlm. 154.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 154-156.
[25] Ibid.
[26]Abu
Bakr Jabr Al Jazairi,Op. Cit., hlm.
69.
[27]
An Nabhani Taqiyuddin, Op. Cit.hlm.
49.
[29] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar